Bukanlah kebetulan jika Muhammad
SAW lahir dalam keadaan yatim, sebab keyatimannya merupakan salah satu tanda
kenabian. Justru dengan kondisi yatim tersebut terkandung berbagai maksud dan
hikmah yang terdapat di dalamnya. Para ahli sirah nabawiyah mengungkapkan
beberapa maksud dan hikmah keyatiman Muhammad SAW, di antaranya:
Pertama, agar Muhammad memiliki
kaitan langsung dengan Allah SWT sebagai pencipta. Allahlah yang mendidik,
melindungi, mengajar dan mempengaruhi Muhammad secara langsung. Hal ini berbeda dengan manusia pada umumnya
yang keberagamaan dan kehidupannya dipengaruhi oleh kedua orang tua dan
lingkungannya. Allah SWT berfirman: “Bukanlah Dia (Allah) mendapatimu sebagai
anak yatim, lalu Dia melindungi(mu). Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Ad-Duha: 6-8).
Kedua, agar Muhammad SAW mengalami
langsung kehidupan sebagai anak yatim dalam suka maupun duka, sehingga pada
saat Allah memerintahkan santunan kepada ayat yatim, beliau memiliki pengalaman
dan tahu betul bagaimana rasanya menjadi anak yatim tanpa harus bertanya pada
pengalaman pihak lain. Allah SWT berfirman: “Maka terhadap anak yatim,
janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.” (QS. Ad-Duha: 9)
Ketiga, agar Muhammad SAW memiliki
pengalaman sebagai orang miskin, sebab keyatiman identik dengan kemiskinan jika
kedua orang tuanya tidak memiliki banyak harta warisan. Dengan demikian beliau
juga menjadi orang pertama yang mengasihi kaum fakir miskin pada saat Allah SWT
memerintahkan untuk mengasihi kaum fakir miskin. Allah SWT berfirman: “Dan
kepada orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).” (QS.
Ad-Duha: 10).
Keempat, agar Muhammad SAW menjadi
contoh ideal bagi semua anak manusia yang dilahirkan dalam keadaan yatim, yaitu
seorang anak yatim yang memberkahi, mencukupkan diri dengan keterbatasannya,
tidak nakal atau mengambil hak orang lain, serta menjadi rahmat bagi manusia di
sekelilingnya. Lihatlah bagaimana Muhammad SAW menjadi pribadi yang memberkahi
bagi kehidupan ibu yang menyusuinya, Halimah Al-Sa’diyah dengan menggembala
kambing dan membantunya pada saat ibunya tersebut mengalami masa paceklik.
Lihat lah pula betapa anak yatim ini mampu menempatkan diri dengan baik di
rumah pamannya yang miskin dengan tidak mengambil hak sedikit pun dari
anak-anak pamannya.
Kelima, agar Muhammad menjadi
profil yang menarik sebagai motivator bagi kehidupan anak-anak yatim, yaitu
seorang anak yatim atau yatim piatu tidak harus cengeng dan terpuruk serta
menjadi alasan pembenaran untuk tidak mendapatkan akses dalam banyak hal.
Sebaliknya dari kondisi yang lemah itulah beliau bangkit dengan ikut berdagang
bersama pamannya, membantu kehidupan pamannya, kemudian menjadi manager yang
jujur, menjadi owner yang penuh kasih, menjadi investor yang cerdas, lalu dai
konsisten sepanjang zaman.
Tidak tercatat dalam kitab-kitab
sirah berapa banyak kekayaan Muhammad SAW, namun jika dilihat dari mahar yang
diberikan kepada Khadijah dengan 20 ekor unta muda dan 12 gram emas pada saat
itu, sudah terlihat betapa beliau menjadi pribadi yang sukses dalam berdagang
dan pernah mengalami hidup kaya raya. Kekayaan beliau melimpah pada saat berada
di Madinah dalam bentuk Fa’i (harta ingkar perdamaian), Al-Shafi (harta pilihan
sebelum Ghanimah dibagi), Al-Sahm (bagian di luar 1/5 yang menjadi hak rasul)
dan hadiah. Namun beliau tetap dermawan dan hidup bersahaja, sampai-sampai
seorang lelaki musyrik yang meminta kekayaan kepadanya menyeru kepada kaumnya
dengan mengatakan: “Masuk Islamlah kalian, sebab Muhammad jika memberi sesuatu
tidak takut miskin.”
Sumber: email Rumah Zakat
Umumnya ketika seseorang ditanya apa
hewan terkuat di dunia, jawaban yang muncul adalah gajah. Tapi sebenarnya Gajah
Afrika hanya mampu mengangkat beban dengan proporsi 25% dari total berat
badannya. Coba kita bandingkan dengan kekuatan seekor hewan kecil yang disebut
Kumbang Badak (The rhinoceros beetle). Kumbang badak mampu membawa beban
seberat 850 kali dari total berat badannya! Subhanallah… Dengan kata lain,
kemampuan makhluk kecil ini adalah 3.400 kali dari kemampuan gajah yang kita
anggap perkasa itu. Kenyataan di atas secara eksplisit memberikan gambaran
bahwa indikator kekuatan makhluk tak hanya terletak pada besar-kecilnya otot
saja.
Dalam Islam, salah satu indikator
kuat-tidaknya seseorang diterjemahkan dalam kemampuan seseorang menahan amarah.
Rasulullah Saw bersabda: “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat
tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain
disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud RA Rasulullah Saw
bersabda: “Siapa yang dikatakan paling kuat di antara kalian? Sahabat
menjawab: yaitu di antara kami yang paling kuat gulatnya. Beliau
bersabda: “Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan
nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim)
Sebagaimana sedih, gembira, takut,
khawatir, dan lupa maka marah juga sifat yang dimiliki oleh setiap manusia
sebagai anugerah dari Allah SWT. Penting
untuk kita ingat bahwa kita tidak diperintahkan untuk menghapus sifat yang
merupakan sunnatullah pada diri manusia ini, melainkan kita diperintahkan untuk
bisa mengendalikannya sehingga saat sesuatu yang menyebabkan kemarahan itu
datang kita bisa untuk tidak menuruti keinginan untuk melampiaskannya. Sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
“Dari Abu Hurairah RA, bahwa seseorang berkata kepada Nabi Saw: berwasiatlah
kepadaku. Beliau bersabda: “jangan menjadi seorang pemarah”. Kemudian
diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda: “janganlah menjadi orang
pemarah” (HR. Bukhari).
Jauh sebelum menyampaikan hadits
ini kepada kita, Rasulullah SAW sudah mengamalkan hal ini pada diri beliau
sendiri. Tentu kita tahu bagaimana beliau bersikap ketika diludahi, dilempar
dengan kotoran unta atau setiap hari dihina oleh seorang wanita Yahudi yang
buta. Bukannya marah, beliau malah memaafkan dan menyuapi wanita buta itu
dengan makanan hingga akhir hayat beliau sehingga akhirnya si wanita buta itu
beriman kepada Allah. Begitulah akhlaq mulia yang diteladankan oleh Rasul kita.
Mungkin di antara kita ada yang
pernah mendengar bahwa menahan amarah dan memendamnya dalam hati jutsru dapat
menimbulkan stress yang berujung pada gangguan kesehatan jasmani maupun jiwa. Memang
betul, berdasarkan ilmu psikologi hal itu memang mungkin terjadi. Tetapi Allah
SWT sudah menjelaskan dan memberi solusi pencegahan agar stress tidak terjadi
pada hambaNya dalam firmanNya:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Ali Imran: 133-134)
Secara psikis, seseorang yang hanya menahan
amarah saja lama kelamaan bisa
menimbulkan stress, apalagi kalau kekesalan, kekecewaan dan sakit hati itu
terjadi berulang kali dan diingat terus menerus. Melalui ayat di atas Allah SWT
menjelaskan bahwa “menahan amarah hendaknya senantiasa diikuti dengan memaafkan
kesalahan orang“. Dengan menahan amarah sekaligus ikhlas memaafkan kesalahan orang yang
menyakiti hati kita karena Allah telah memerintahkan kita demikian, insya Allah
jiwa kita akan terasa lebih lega dan tenteram. Tidak ada stress dan sakit hati
lagi setelah itu karena kita sudah memaafkannya. Memang dalam prakteknya,
menahan amarah itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi menahan
amarah pada saat kita punya peluang untuk menyalurkannya. Namun justru di
situlah tantangannya yang akan dibalas Allah dengan balasan terbaik.
Sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba’i, bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal
dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas
khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.”
(HR. Ahmad dengan sanad Hasan). Marilah kita budayakan paket akhlak mulia ini,
yaitu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.
Sumber: email dari Rumah Zakat
Dalam pandangan banyak orang, ujian yang menimpa gerakan
dakwah,apalagi jika terjadi terus-menerus akan menimbulkan berbagai prasangka
yang buruk. Kenyataan secara lahiriah berbagai ujian dakwah adalah merupakan
kerugian besar dan menjadi bahaya bagi dakwah dan pendukungnya. Tapi pada
hakikatnya dalam dunia dakwah serta ukuran Rabbani (ketuhanan) justru
sebaliknya. Kebaikan dan keuntungan itu antara lain:
- Banyaknya pendukung2 dakwah yang syahid di tangan musuh2 dakwah secara lahirian merupakan kerugian besar karena hilangnya orang-orang pilihan dari arena dakwah dan kosongnya bidang dakwah dari aktivitas dan jihad mereka. Tapi hakikatnya syahidnya seseorang dalam memperjuangkan dakwah menunjukkan ketinggian dakwah dan mulianya tujuan dakwah. Hal tersebut memberi kesan dan pengaruh besar dalam jiwa, jauh lebih bermakna dari seratus penasihat. Itulah bahan bakar yang akan menyalakan iman dan semangat generasi selanjutnya.
- Ujian dakwah dapat membuat banyak aktivis dakwah yang berpaling dari kerja dakwah. Secara lahiriah barisan dakwah telah berkurang yang mengakibatkan dakwah kehilangan pendukung juga berkurang usaha-usahanya. Namun secara hakikat barisan dakwah justru makin teguh dan kuat karena semakin bersih dari titik-titik kelamahan. Selain itu Allah menggantikan yang hilang itu dengan kader-kader lain yang lebih mulia, sebagaimana firmanNya dalam Ali Imran:179 dan Muhammad: 38
- Ujian lain dapat berupa penindasan dan perintangan terhadap upaya-upaya dakwah seperti memberangus kitab, majalah dan melarang kegiatan dakwah. Walau penghasilan secara langsung akan berkurang, namun keuntungannya pelaku dakwah bertambah pengalaman dan semakin berpegang teguh dalam dakwah lebih kuat daripada sebelum datangnya ujian tersebut. Seperti firman Allah dalam As Shaff:8.
- Bahaya lain adalah penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, dan penderitaan bertahun-tahun oleh aktivitis dakwah. Secara lahiriah memang merupakan kerugian tetapi hal tersebut merupakan lambang ketahanan dalam mempertahankan kebenaran dengan tidak pernah meninggalkan usaha dan dakwah. Ini sekali lagi dapat menyalakan iman di kalangan generasi baru dan generasi akan datang.
- Bahaya bisa berupa tuduhan palsu kepada para dai untuk merusak nama baik, menghina dan merusakkan mata manusia untuk lari dari dakwah serta Allah. Ini bukan persoalan baru, sejak jaman Rasulullah juga mengalami hal yang sama dituduh sebagai tukang sihir. Tapi sebagaimana sejarah telah mengukir bahwa kebohongan tidak pernah bertahan lama, dan kebenaran pada akhirnya pasti akan terungkap.
- Ujian selanjutnya dapat berupa pembekuan segala bentuk kantor, yayasan, sekolah rumah sakit, perusahaan milik gerakan dakwah dan terhentinya aktivitas risalah yang diemban lembaga tersebut. Kerugian secara materi jelas sangatlah besar, tetapi hal itu masih belum apa-apa dibandingkan yang dialami Rasulullah dan shahabat saat berhijrah ke Madinah dengan meninggalkan rumah, harta benda, bahkan sanak saudara. Tetapi Allah telah mengganti segala kehilangan mereka dengan kemenangan yang gemilang sampai akhirnya berdiri Daulah Islamiyah di Madinah. Hal ini juga mendidik para dai agar mereka tak dilalaikan oleh benda, tidak mabuk harta dan tak dikuasai dunia. Kesulitan dapat meyuburkan tolong menolong, tanggung jawab dan saling mengingatkan di antara para aktivis, seperti kaum Anshar dan Muhajirin. Terhentinya berbagai kegiatan akan membuat masyarakat kehilangan manfaat pengabdian sesuai dengan adab dan cara islam yang lebih menentramkan.
Demikianlah ujian merupakan sunnatullah dan
undang-undang Allah yang telah, sedang, dan akan berlaku selama dakwah dan para
dai ada. Ujian tersebut lahiriahnya merupakan bencana akan tetapi di balik itu
terkandung kebaikan berupa nikmat dan karunia Allah. Tak ada yang dikehendaki
Allah selain kebaikan untuk dakwah dan para pendukungnya. Berbagai bencana
bukanlah saat kematian maupun pukulan, tetapi merupakan masa-masa yang dapat
menghidupkan kekuatan dan mendorong dakwah agar berjalan dengan penuh kekuatan.
Diringkas dari: Fiqih Dakwah Jilid 1, Musthafa Masyhur Bab Tribulasi Dakwah Bagian Ketiga