Mengikat Ilmu, Berbagi Hikmah

Kumpulan materi tarbiyah, kultum, resensi dan hikmah

Bukanlah kebetulan jika Muhammad SAW lahir dalam keadaan yatim, sebab keyatimannya merupakan salah satu tanda kenabian. Justru dengan kondisi yatim tersebut terkandung berbagai maksud dan hikmah yang terdapat di dalamnya. Para ahli sirah nabawiyah mengungkapkan beberapa maksud dan hikmah keyatiman Muhammad SAW, di antaranya:

Pertama, agar Muhammad memiliki kaitan langsung dengan Allah SWT sebagai pencipta. Allahlah yang mendidik, melindungi, mengajar dan mempengaruhi Muhammad secara langsung.  Hal ini berbeda dengan manusia pada umumnya yang keberagamaan dan kehidupannya dipengaruhi oleh kedua orang tua dan lingkungannya. Allah SWT berfirman: “Bukanlah Dia (Allah) mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungi(mu). Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Ad-Duha: 6-8).

Kedua, agar Muhammad SAW mengalami langsung kehidupan sebagai anak yatim dalam suka maupun duka, sehingga pada saat Allah memerintahkan santunan kepada ayat yatim, beliau memiliki pengalaman dan tahu betul bagaimana rasanya menjadi anak yatim tanpa harus bertanya pada pengalaman pihak lain. Allah SWT berfirman: “Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.” (QS. Ad-Duha: 9)

Ketiga, agar Muhammad SAW memiliki pengalaman sebagai orang miskin, sebab keyatiman identik dengan kemiskinan jika kedua orang tuanya tidak memiliki banyak harta warisan. Dengan demikian beliau juga menjadi orang pertama yang mengasihi kaum fakir miskin pada saat Allah SWT memerintahkan untuk mengasihi kaum fakir miskin. Allah SWT berfirman: “Dan kepada orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).” (QS. Ad-Duha: 10).

Keempat, agar Muhammad SAW menjadi contoh ideal bagi semua anak manusia yang dilahirkan dalam keadaan yatim, yaitu seorang anak yatim yang memberkahi, mencukupkan diri dengan keterbatasannya, tidak nakal atau mengambil hak orang lain, serta menjadi rahmat bagi manusia di sekelilingnya. Lihatlah bagaimana Muhammad SAW menjadi pribadi yang memberkahi bagi kehidupan ibu yang menyusuinya, Halimah Al-Sa’diyah dengan menggembala kambing dan membantunya pada saat ibunya tersebut mengalami masa paceklik. Lihat lah pula betapa anak yatim ini mampu menempatkan diri dengan baik di rumah pamannya yang miskin dengan tidak mengambil hak sedikit pun dari anak-anak pamannya.

Kelima, agar Muhammad menjadi profil yang menarik sebagai motivator bagi kehidupan anak-anak yatim, yaitu seorang anak yatim atau yatim piatu tidak harus cengeng dan terpuruk serta menjadi alasan pembenaran untuk tidak mendapatkan akses dalam banyak hal. Sebaliknya dari kondisi yang lemah itulah beliau bangkit dengan ikut berdagang bersama pamannya, membantu kehidupan pamannya, kemudian menjadi manager yang jujur, menjadi owner yang penuh kasih, menjadi investor yang cerdas, lalu dai konsisten sepanjang zaman.
Tidak tercatat dalam kitab-kitab sirah berapa banyak kekayaan Muhammad SAW, namun jika dilihat dari mahar yang diberikan kepada Khadijah dengan 20 ekor unta muda dan 12 gram emas pada saat itu, sudah terlihat betapa beliau menjadi pribadi yang sukses dalam berdagang dan pernah mengalami hidup kaya raya. Kekayaan beliau melimpah pada saat berada di Madinah dalam bentuk Fa’i (harta ingkar perdamaian), Al-Shafi (harta pilihan sebelum Ghanimah dibagi), Al-Sahm (bagian di luar 1/5 yang menjadi hak rasul) dan hadiah. Namun beliau tetap dermawan dan hidup bersahaja, sampai-sampai seorang lelaki musyrik yang meminta kekayaan kepadanya menyeru kepada kaumnya dengan mengatakan: “Masuk Islamlah kalian, sebab Muhammad jika memberi sesuatu tidak takut miskin.”

Demikianlah seharusnya kondisi yatim tidak menjadi alasan terbatasnya akses pendidikan, pemicu kemalasan, kerendahan diri, dan keterpurukan dalam kemiskinan, melainkan sebaliknya harus menjadi motivasi dalam meraih kehidupan yang lebih baik dengan tetap menekankan sikap jujur, amanah, dan memfungsikan kecerdasan akal serta pendekatan diri kepada Allah SWT sebab hanya dengan cara itu anak-anak yatim yang ada di sekitar kita dapat menjadi anak yatim yang memberkahi sebagaimana pribadi Rasulullah SAW. Wallahu A’lam.

Sumber: email Rumah Zakat
[ Read More ]

Umumnya ketika seseorang ditanya apa hewan terkuat di dunia, jawaban yang muncul adalah gajah. Tapi sebenarnya Gajah Afrika hanya mampu mengangkat beban dengan proporsi 25% dari total berat badannya. Coba kita bandingkan dengan kekuatan seekor hewan kecil yang disebut Kumbang Badak (The rhinoceros beetle). Kumbang badak mampu membawa beban seberat 850 kali dari total berat badannya! Subhanallah… Dengan kata lain, kemampuan makhluk kecil ini adalah 3.400 kali dari kemampuan gajah yang kita anggap perkasa itu. Kenyataan di atas secara eksplisit memberikan gambaran bahwa indikator kekuatan makhluk tak hanya terletak pada besar-kecilnya otot saja.

Dalam Islam, salah satu indikator kuat-tidaknya seseorang diterjemahkan dalam kemampuan seseorang menahan amarah. Rasulullah Saw bersabda: “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud RA Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang dikatakan paling kuat di antara kalian? Sahabat menjawab: yaitu di antara kami yang paling kuat gulatnya. Beliau bersabda: “Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim)

Sebagaimana sedih, gembira, takut, khawatir, dan lupa maka marah juga sifat yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah dari Allah SWT.  Penting untuk kita ingat bahwa kita tidak diperintahkan untuk menghapus sifat yang merupakan sunnatullah pada diri manusia ini, melainkan kita diperintahkan untuk bisa mengendalikannya sehingga saat sesuatu yang menyebabkan kemarahan itu datang kita bisa untuk tidak menuruti keinginan untuk melampiaskannya.  Sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW  dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh “Dari Abu Hurairah RA, bahwa seseorang berkata kepada Nabi Saw: berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda: “jangan menjadi seorang pemarah”. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda: “janganlah menjadi orang pemarah” (HR. Bukhari).

Jauh sebelum menyampaikan hadits ini kepada kita, Rasulullah SAW sudah mengamalkan hal ini pada diri beliau sendiri. Tentu kita tahu bagaimana beliau bersikap ketika diludahi, dilempar dengan kotoran unta atau setiap hari dihina oleh seorang wanita Yahudi yang buta. Bukannya marah, beliau malah memaafkan dan menyuapi wanita buta itu dengan makanan hingga akhir hayat beliau sehingga akhirnya si wanita buta itu beriman kepada Allah. Begitulah akhlaq mulia yang diteladankan oleh Rasul kita.

Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar bahwa menahan amarah dan memendamnya dalam hati jutsru dapat menimbulkan stress yang berujung pada gangguan kesehatan jasmani maupun jiwa. Memang betul, berdasarkan ilmu psikologi hal itu memang mungkin terjadi. Tetapi Allah SWT sudah menjelaskan dan memberi solusi pencegahan agar stress tidak terjadi pada hambaNya dalam firmanNya:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Ali Imran: 133-134)

Secara psikis, seseorang yang hanya menahan amarah saja  lama kelamaan bisa menimbulkan stress, apalagi kalau kekesalan, kekecewaan dan sakit hati itu terjadi berulang kali dan diingat terus menerus. Melalui ayat di atas Allah SWT menjelaskan bahwa “menahan amarah hendaknya senantiasa diikuti dengan memaafkan kesalahan orang“. Dengan menahan amarah sekaligus  ikhlas memaafkan kesalahan orang yang menyakiti hati kita karena Allah telah memerintahkan kita demikian, insya Allah jiwa kita akan terasa lebih lega dan tenteram. Tidak ada stress dan sakit hati lagi setelah itu karena kita sudah memaafkannya. Memang dalam prakteknya, menahan amarah itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi menahan amarah pada saat kita punya peluang untuk menyalurkannya. Namun justru di situlah tantangannya yang akan dibalas Allah dengan balasan terbaik. Sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba’i, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.” (HR. Ahmad dengan sanad Hasan). Marilah kita budayakan paket akhlak mulia ini, yaitu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.

Sumber: email dari Rumah Zakat
[ Read More ]

Dalam pandangan banyak orang, ujian yang menimpa gerakan dakwah,apalagi jika terjadi terus-menerus akan menimbulkan berbagai prasangka yang buruk. Kenyataan secara lahiriah berbagai ujian dakwah adalah merupakan kerugian besar dan menjadi bahaya bagi dakwah dan pendukungnya. Tapi pada hakikatnya dalam dunia dakwah serta ukuran Rabbani (ketuhanan) justru sebaliknya. Kebaikan dan keuntungan itu antara lain: 
  1. Banyaknya pendukung2 dakwah yang syahid di tangan musuh2 dakwah secara lahirian merupakan kerugian besar karena hilangnya orang-orang pilihan dari arena dakwah dan kosongnya bidang dakwah dari aktivitas dan jihad mereka. Tapi hakikatnya syahidnya seseorang dalam memperjuangkan dakwah menunjukkan ketinggian dakwah dan mulianya tujuan dakwah. Hal tersebut memberi kesan dan pengaruh besar dalam jiwa, jauh lebih bermakna dari seratus penasihat. Itulah bahan bakar yang akan menyalakan iman dan semangat generasi selanjutnya.
  2. Ujian dakwah dapat membuat banyak aktivis dakwah yang berpaling dari kerja dakwah. Secara lahiriah barisan dakwah telah berkurang yang mengakibatkan dakwah kehilangan pendukung juga berkurang usaha-usahanya. Namun secara hakikat barisan dakwah justru makin teguh dan kuat karena semakin bersih dari titik-titik kelamahan. Selain itu Allah menggantikan yang hilang itu dengan kader-kader lain yang lebih mulia, sebagaimana firmanNya dalam Ali Imran:179 dan Muhammad: 38
  3. Ujian lain dapat berupa penindasan dan perintangan terhadap upaya-upaya dakwah seperti memberangus kitab, majalah dan melarang kegiatan dakwah. Walau penghasilan secara langsung akan berkurang, namun keuntungannya pelaku dakwah bertambah pengalaman dan semakin berpegang teguh dalam dakwah lebih kuat daripada sebelum datangnya ujian tersebut. Seperti firman Allah dalam As Shaff:8.
  4. Bahaya lain adalah penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, dan penderitaan bertahun-tahun oleh aktivitis dakwah. Secara lahiriah memang merupakan kerugian tetapi hal tersebut merupakan lambang ketahanan dalam mempertahankan kebenaran dengan tidak pernah meninggalkan usaha dan dakwah. Ini sekali lagi dapat menyalakan iman di kalangan generasi baru dan generasi akan datang.
  5. Bahaya bisa berupa tuduhan palsu kepada para dai untuk merusak nama baik, menghina dan merusakkan mata manusia untuk lari dari dakwah serta Allah. Ini bukan persoalan baru, sejak jaman Rasulullah juga mengalami hal yang sama dituduh sebagai tukang sihir. Tapi sebagaimana sejarah telah mengukir bahwa kebohongan tidak pernah bertahan lama, dan kebenaran pada akhirnya pasti akan terungkap.
  6. Ujian selanjutnya dapat berupa pembekuan segala bentuk kantor, yayasan, sekolah rumah sakit, perusahaan milik gerakan dakwah dan terhentinya aktivitas risalah yang diemban lembaga tersebut. Kerugian secara materi jelas sangatlah besar, tetapi hal itu masih belum apa-apa dibandingkan yang dialami Rasulullah dan shahabat saat berhijrah ke Madinah dengan meninggalkan rumah, harta benda, bahkan sanak saudara. Tetapi Allah telah mengganti segala kehilangan mereka dengan kemenangan yang gemilang sampai akhirnya berdiri Daulah Islamiyah di Madinah. Hal ini juga mendidik para dai agar mereka tak dilalaikan oleh benda, tidak mabuk harta dan tak dikuasai dunia. Kesulitan dapat meyuburkan tolong menolong, tanggung jawab dan saling mengingatkan di antara para aktivis, seperti kaum Anshar dan Muhajirin. Terhentinya berbagai kegiatan akan membuat masyarakat kehilangan manfaat pengabdian sesuai dengan adab dan cara islam yang lebih menentramkan.
Demikianlah ujian merupakan sunnatullah dan undang-undang Allah yang telah, sedang, dan akan berlaku selama dakwah dan para dai ada. Ujian tersebut lahiriahnya merupakan bencana akan tetapi di balik itu terkandung kebaikan berupa nikmat dan karunia Allah. Tak ada yang dikehendaki Allah selain kebaikan untuk dakwah dan para pendukungnya. Berbagai bencana bukanlah saat kematian maupun pukulan, tetapi merupakan masa-masa yang dapat menghidupkan kekuatan dan mendorong dakwah agar berjalan dengan penuh kekuatan.
 
Diringkas dari: Fiqih Dakwah Jilid 1, Musthafa Masyhur Bab Tribulasi Dakwah Bagian Ketiga
[ Read More ]


Terkadang seseorang merasa telah berdoa dan meminta kepada Allah SWT, tetapi doanya tak kunjung dikabulkan. Sikap tersebut dilarang oleh Rasulullah SAW, “Doa salah seorang dari kalian dikabulkan selagi ia tidak terburu-buru (minta) doanya dikabulkan. (Yaitu) Ia berkata ‘Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tapi doaku tidak dikabulkan’.” (Diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Adapun banyak sebab doa seseorang tidak segera dikabulkan oleh Allah Ta’ala dan pasti ada hikmah di balik tidak dikabulkannya doa dalam waktu cepat. Di antara sebab dan hikmah itu sebagai berikut:

  1. Belum terpenuhinya syarat-syarat diterimanya doa atau adab berdoa, seperti: tidak menghadirkan hati saat berdoa, tidak mengutamakan waktu-waktu yang makbul, tidak khusyuk, dan lain sebagainya. 
  2. Ada dosa-dosa yang kita belum bertaubat darinya atau ada dosa di mana kita tidak bertaubat dengan jujur darinya. Karena itu hendaklah kita bertaubat dengan taubat nasuhah, dengan melengkapi syarat-syarat taubatan nasuhah. 
  3. Makanan dan minuman kita mengandung syubhat yang menghalangi terkabulnya doa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda “Hai Sa’ad (bin Abu Waqqash), makanlah makanan yang baik-baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan.”  
  4. Dalam harta kita terkandung hal-hal haram seperti riba, berasal dari sumber haram atau masih tersimpan hak-hak orang lain seperti zakat yang belum ditunaikan sehingga doa menjadi terhalang. Hendaknya kita segera membersihkan harta dan menunaikan hak orang lain atas harta kita. Dalam sebuah hadits shahih, “Lalu Rasulullah mengisahkan seseorang yang rambutnya acak-acakan dan berdebu menengadahkan tangannya ke langit untuk berdoa, ‘Ya Allah, ya Allah.’ Padahal, makanannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dari sumber haram. Bagaimana doanya dikabulkan?” (Diriwayatkan Muslim, At Tirmidzi, dan Ahmad).  
  5. Allah Ta’ala sengaja menyimpan pahala doa dan akan diberikan di akhirat kelak atau Allah menghilangkan keburukan dari diri kita. Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika di atas bumi ada orang muslim berdoa kepada Allah dengan satu doa, maka Dia mengabulkan doa itu atau menghilangkan keburukan darinya, selagi ia tidak mengerjakan dosa atau memutus hubungan kekerabatan.’ Seseorang berkata, ‘Bagaimana kalau kita memperbanyak doa?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Allah lebih banyak lagi mengabulkan doanya atau menghilangkan keburukan darinya.’ (Diriwayatkan At Tirmidzi, Ahmad dan Al Hakim). Di riwayat Al Hakim terdapat tambahan, ‘Atau Allah menyimpan pahala seperti doa itu untuknya.’ 
  6. Penundaan terkabulnya doa merupakan ujian baru dari Allah kepada seseorang. Allah ingin menguji iman seseorang dan menyeleksinya. Ketika doa tak segera terkabul, setan akan membisikkan pikiran jahat kepada seseorang ‘Kenapa doa saya tak terkabul? Kenapa Allah begitu tidak adil?’ dan bisikan-bisikan lain sehingga orang tersebut berhenti berdoa. Seorang mukmin harus melawan bisikan-bisikan itu dan meyakini bahwa Allah ingin menguji hambaNya dengan berperang melawan bisikan iblis, maka hikmah itu cukup baginya. 
  7. Hikmah lainnya adalah seorang mukmin menyadari hakikat penting bahwa Allah pemilik segalanya dan pemilik berhak berbuat apa saja terhadap miliknya, dengan cara memberi atau tidak memberi. Maka jika Allah tidak memberi, maka itulah keadilan Allah dan Allah tahu yang terbaik bagi hambaNya. Hubungan Allah dengan manusia bukanlah seperti bos dengan buruh, yang langsung marah ketika gajinya tak segera diberikan. Sikap seorang mukmin tidak berubah terhadap Tuhannya ketika doanya tak segera dikabulkan dan malah semakin rajin beribadah. Nabi Yaqub as. –yang kedudukannya dekat dengan Allah- tak henti-hentinya mendoakan Nabi Yusuf as. –anaknya yang hilang- hingga doanya terkabul setelah 40 tahun lamanya.  
  8. Doa yang tak segera terkabul membuat kita senantiasa mendekatkan diri dan berlindung kepada Allah. Sebaliknya, jika permintaan terkabul, mungkin kita akan lebih sibuk mengurusi dunia dan tidak ingat terhadap Allah. Inilah realitas yang sering terjadi pada anak manusia, hendaknya diresapi sebagai hikmah bahwa Allah ingin selalu mendengarkan doa hambaNya. 
  9. Jika doa segera dikabulkan, mungkin kita malah terjerumus pada dosa atau berdampak buruk pada dien kita. Allah selalu tahu apa yang terbaik bagi hambaNya, segala sesuatu yang tampaknya baik di mata kita belum tentu baik bagi diri kita. Sebagai seorang muslim, hendaknya juga selalu berdoa yang baik-baik. 
  10. Hikmah yang terakhir adalah setiap permintaan punya ketentuan dan takaran. Ada doa yang memerlukan perjuangan panjang untuk terwujud seperti tegaknya Khilafah Islamiyah. Tidak realistis kalau kita berdoa meminta hal tersebut terkabul esok hari. Meski Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tiap doa punya takaran, syarat, pengorbanan, kerja keras, dan hasil yang hanya diketahui dengan pasti oleh Allah. Jika seorang mukmin meminta sesuatu yang besar, maka doa dan upaya yang dikerahkan pun harus lebih banyak. Demikianlah seorang mukmin hendaknya senantiasa berdoa dan berusaha dengan sabar dan istiqomah.
Sumber: Taushiyah Untuk Aktivis Islam , An Nadwah, 2003
[ Read More ]

Kebaikan merupakan nilai luhur yang universal. Semua umat, agama, dan filsafat menaruh perhatian yang besar terhadap amal kebaikan. Dalam Al Qur’an, kebaikan dituturkan dengan menggunakan berbagai kata yakni al birr (kebajikan), al ihsan (kebaikan), ar rahmah (kasih sayang), ash shadaqah (sedekah), dan sebagainya. Penyampaiannya pun ada yang berupa perintah, motivasi, pujian bahkan larangan atau peringatan bagi yang tidak melakukannya. Berikut beberapa ayat dalam Al Qur’an yang menyerukan amal kebaikan. Al Hajj : 177, “Berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.” Ali Imran: 115,”Dan apa saja kebaikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahalanya).” Al Baqarah: 83, “Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” Al Maidah: 48, “Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu. Maka, berlomba-lombalah berbuat kebaikan.”
Dalam hadits juga dianjurkan kebaikan sebagai berikut:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Hadist Arbain ke-15)
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim dalam Al Imarah)
Akan tetapi ada lima karakteristik atau prinsip yang membedakan amal kebaikan dalam Islam dengan agama lainnya. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1.       Komprehensif
Seorang muslim melakukan amal kebaikan secara menyeluruh kepada semua yang membutuhkan, baik kerabat atau bukan, muslim atau kafir, kawan atau lawan, dan manusia maupun binatang. Kendati demikian Islam menekankan ada prioritas, seperti mengutamakan kerabat. Sabda Rasulullah SAW, “Sedekah kepada orang miskin mendapatkan satu pahala sedekah, sedangkan kepada kerabat mendapatkan dua pahala, sedekah dan silaturahim” (HR. Ahmad).
Begitu pula terhadap nonmuslim, seorang muslim wajib berbuat baik dan adil kepada mereka selama masih berdamai dan tidak memperlihatkan sikap permusuhan. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al Mumtahanah:8). Bahkan pada tawanan, orang yang jelas memusuhi Islam tetapi dalam kondisi tertawan, Allah memuji umatNya yang berbuat baik pada tawanan. Dalam Al Insan:8, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”
Berbuat baik juga berlaku kepada binatang dan tanaman. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Takutlah kepada Allah SWT terkait binatang ternak. Maka tunggangilah binatang itu dengan cara yang baik dan makanilah dia dengan cara yang baik pula.”(HR Ahmad)
2.       Ragam Kebaikan
Amal kebaikan yang dilakukan muslim, baik sendiri maupun secara berjamaah, tak hanya memiliki satu bentuk saja, melainkan bermacam-macam sesuai kebutuhan dan kemampuan manusia, juga tergantung tuntutan dan kemungkinan yang ada. Amal bisa berupa ibadah yang bersifat ritual, maupun sosial kemasyarakatan. Ibadah ritual harus dilakukan dengan benar, sesuai tuntutan syariat. Sedangkan ibadah sosial lebih fleksibel. Wujudnya bisa berupa materi maupun nonmateri seperti waktu dan tenaga.  Bahkan hal yang paling sederhana seperti kata-kata yang baik, menyingkirkan batu di jalan, dan senyuman pada orang lain bisa menjadi amal kebaikan, sebagaimana hadits “Senyummu pada saudaramu adalah sedekah” (HR.Tirmidzi).
Islam juga menganjurkan amal kebaikan sesuai dengan kemampuan. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar, beberapa sahabat Rasulullah bertanya kepada beliau bahwa orang-orang kaya akan mendapat banyak pahala karena mereka sholat dan puasa sebagaimana mereka, dan masih bisa bersedakah dengan kelebihan hartanya. Rasulullah menjawab,”Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, mengajak pada kebaikan adalah sedekah, mencegah yang mungkar adalah sedekah, dan berkumpul dengan istri adalah sedekah.” (HR Muslim).
3.       Kontinuitas
Salah satu ciri amal kebaikan di kalangan umat Islam adalah kontinuitas atau berkelanjutan. Dalam Islam, ada beberapa kewajiban yang memang bersifat periodik, seperti sholat fardhu setiap hari, zakat fitrah setiap Ramadhan, zakat maal setiap tahun dan sebagainya. Ada pula yang bersifat nonperiodik dan tidak wajib, seperti sedekah, membantu orang lain, sholat sunnah, dan lainnya. Ibadah wajib harus dilakukan oleh orang muslim, sedangkah ibadah sunnah merupakan ibadah tambahan yang dapat menyempurnakan ibadah wajib. Semuanya sebaiknya dilakukan secara kontinu dan berkelanjutan, karena Allah akan selalu mengawasi dan melihat ummatNya. Firman Allah SWT, “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Al Zalzalah:7). Selain itu, kita tak pernah tahu kapan ajal akan menjemput manusia. Dengan terus menerus beramal baik, semoga Allah mengakhirkan kita dalam husnul khatimah.   
4.       Motif yang Kuat
Memiliki motivasi yang kuat akan menjadikan seorang muslim lebih giat dan teguh dalam beramal baik. Motivasi tersebut antara lain:
a.       Mencari keridhaan Allah
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al Insaan:8-9)
Termasuk mencari keridhaan Allah adalah meminta surga berikut pahala dan kenikmatan di dalamnya. Motivasi inilah yang telah mendorong banyak sahabat melakukan kebaikan. Maka, ketika diturunkan ayat Al Qur’an yang menyeru kebaikan, mereka bersegera melakukannya bahkan ingin berbuat lebih. Cinta dunia dan kekikiran tak menghalangi mereka berbuat baik sebab mereka yakin pahala Allah lebih besar dan di sisi Allahlah yang lebih kekal.
Ada sebuah kisah bahwa Abu Thalhah menyedekahkan kebun kurma yang ia paling cintai segera setelah diturunkannya ayat yang berbunyi “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran:92).
b.      Motivasi normatif
Motivasi normatif sebagaimana dalam Al Qur’an yang menyebut orang-orang yang beramal baik sebagai orang yang bertakwa (Al Baqarah: 2-3), orang yang beriman (Al Anfal: 3-4), orang yang berakal (Ar Ra’d: 19-22), atau orang –orang yang berbuat baik (Adz Dzariyat: 16-19).
c.       Keberkahan di dunia
Agama Islam sangat memperhatikan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Maka kebaikan dunia pun boleh menjadi motivasi seorang mukmin untuk berbuat kebaikan, seperti keharmonisan rumah tangga, harta yang berkah, anak yang sholeh, maupun berharap Allah memberikan ganti yang lebih baik dari yang disedekahkan.
“Barang siapa bertakwa kepada Allah,niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath Thalaq: 4)
“Barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”(An Nahl:97)
5.       Ikhlas demi kebaikan 
Karakteristik terakhir dari amal kebaikan adalah dilandasi keikhlasan yakni dilakukan semata-mata demi kebaikan. Hal tersebut dapat terwujud apabila dimotivasi oleh agama dan akhlaq, bukan duniawi dan materi. Misalnya kebaikan seseorang tidak akan diterima apabila dijadikan alat untuk menipu atau meraup suara dalam pemilu. Demikian pula,amal kebaikan yang dilakukan dengan cara yang haram seperti: sedekah dari uang suap atau uang judi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan hanya menerima yang baik-baik.”
Diringkas dari buku “Prinsip Amal Kebaikan” oleh DR. Yusuf Al Qaradhawi.
[ Read More ]