Terkadang seseorang merasa telah berdoa dan meminta kepada
Allah SWT, tetapi doanya tak kunjung dikabulkan. Sikap tersebut dilarang oleh
Rasulullah SAW, “Doa salah seorang dari kalian dikabulkan selagi ia tidak terburu-buru
(minta) doanya dikabulkan. (Yaitu) Ia berkata ‘Aku telah berdoa kepada Tuhanku,
tapi doaku tidak dikabulkan’.” (Diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Adapun banyak sebab doa seseorang tidak segera dikabulkan
oleh Allah Ta’ala dan pasti ada hikmah di balik tidak dikabulkannya doa dalam
waktu cepat. Di antara sebab dan hikmah itu sebagai berikut:
- Belum terpenuhinya syarat-syarat diterimanya doa atau adab berdoa, seperti: tidak menghadirkan hati saat berdoa, tidak mengutamakan waktu-waktu yang makbul, tidak khusyuk, dan lain sebagainya.
- Ada dosa-dosa yang kita belum bertaubat darinya atau ada dosa di mana kita tidak bertaubat dengan jujur darinya. Karena itu hendaklah kita bertaubat dengan taubat nasuhah, dengan melengkapi syarat-syarat taubatan nasuhah.
- Makanan dan minuman kita mengandung syubhat yang menghalangi terkabulnya doa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda “Hai Sa’ad (bin Abu Waqqash), makanlah makanan yang baik-baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan.”
- Dalam harta kita terkandung hal-hal haram seperti riba, berasal dari sumber haram atau masih tersimpan hak-hak orang lain seperti zakat yang belum ditunaikan sehingga doa menjadi terhalang. Hendaknya kita segera membersihkan harta dan menunaikan hak orang lain atas harta kita. Dalam sebuah hadits shahih, “Lalu Rasulullah mengisahkan seseorang yang rambutnya acak-acakan dan berdebu menengadahkan tangannya ke langit untuk berdoa, ‘Ya Allah, ya Allah.’ Padahal, makanannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dari sumber haram. Bagaimana doanya dikabulkan?” (Diriwayatkan Muslim, At Tirmidzi, dan Ahmad).
- Allah Ta’ala sengaja menyimpan pahala doa dan akan diberikan di akhirat kelak atau Allah menghilangkan keburukan dari diri kita. Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika di atas bumi ada orang muslim berdoa kepada Allah dengan satu doa, maka Dia mengabulkan doa itu atau menghilangkan keburukan darinya, selagi ia tidak mengerjakan dosa atau memutus hubungan kekerabatan.’ Seseorang berkata, ‘Bagaimana kalau kita memperbanyak doa?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Allah lebih banyak lagi mengabulkan doanya atau menghilangkan keburukan darinya.’ (Diriwayatkan At Tirmidzi, Ahmad dan Al Hakim). Di riwayat Al Hakim terdapat tambahan, ‘Atau Allah menyimpan pahala seperti doa itu untuknya.’
- Penundaan terkabulnya doa merupakan ujian baru dari Allah kepada seseorang. Allah ingin menguji iman seseorang dan menyeleksinya. Ketika doa tak segera terkabul, setan akan membisikkan pikiran jahat kepada seseorang ‘Kenapa doa saya tak terkabul? Kenapa Allah begitu tidak adil?’ dan bisikan-bisikan lain sehingga orang tersebut berhenti berdoa. Seorang mukmin harus melawan bisikan-bisikan itu dan meyakini bahwa Allah ingin menguji hambaNya dengan berperang melawan bisikan iblis, maka hikmah itu cukup baginya.
- Hikmah lainnya adalah seorang mukmin menyadari hakikat penting bahwa Allah pemilik segalanya dan pemilik berhak berbuat apa saja terhadap miliknya, dengan cara memberi atau tidak memberi. Maka jika Allah tidak memberi, maka itulah keadilan Allah dan Allah tahu yang terbaik bagi hambaNya. Hubungan Allah dengan manusia bukanlah seperti bos dengan buruh, yang langsung marah ketika gajinya tak segera diberikan. Sikap seorang mukmin tidak berubah terhadap Tuhannya ketika doanya tak segera dikabulkan dan malah semakin rajin beribadah. Nabi Yaqub as. –yang kedudukannya dekat dengan Allah- tak henti-hentinya mendoakan Nabi Yusuf as. –anaknya yang hilang- hingga doanya terkabul setelah 40 tahun lamanya.
- Doa yang tak segera terkabul membuat kita senantiasa mendekatkan diri dan berlindung kepada Allah. Sebaliknya, jika permintaan terkabul, mungkin kita akan lebih sibuk mengurusi dunia dan tidak ingat terhadap Allah. Inilah realitas yang sering terjadi pada anak manusia, hendaknya diresapi sebagai hikmah bahwa Allah ingin selalu mendengarkan doa hambaNya.
- Jika doa segera dikabulkan, mungkin kita malah terjerumus pada dosa atau berdampak buruk pada dien kita. Allah selalu tahu apa yang terbaik bagi hambaNya, segala sesuatu yang tampaknya baik di mata kita belum tentu baik bagi diri kita. Sebagai seorang muslim, hendaknya juga selalu berdoa yang baik-baik.
- Hikmah yang terakhir adalah setiap permintaan punya ketentuan dan takaran. Ada doa yang memerlukan perjuangan panjang untuk terwujud seperti tegaknya Khilafah Islamiyah. Tidak realistis kalau kita berdoa meminta hal tersebut terkabul esok hari. Meski Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tiap doa punya takaran, syarat, pengorbanan, kerja keras, dan hasil yang hanya diketahui dengan pasti oleh Allah. Jika seorang mukmin meminta sesuatu yang besar, maka doa dan upaya yang dikerahkan pun harus lebih banyak. Demikianlah seorang mukmin hendaknya senantiasa berdoa dan berusaha dengan sabar dan istiqomah.
Sumber: Taushiyah Untuk Aktivis Islam , An Nadwah,
2003
Kebaikan merupakan nilai luhur
yang universal. Semua umat, agama, dan filsafat menaruh perhatian yang besar
terhadap amal kebaikan. Dalam Al Qur’an, kebaikan dituturkan dengan menggunakan
berbagai kata yakni al birr (kebajikan), al ihsan (kebaikan), ar rahmah (kasih
sayang), ash shadaqah (sedekah), dan sebagainya. Penyampaiannya pun ada yang
berupa perintah, motivasi, pujian bahkan larangan atau peringatan bagi yang
tidak melakukannya. Berikut beberapa ayat dalam Al Qur’an yang menyerukan amal
kebaikan. Al Hajj : 177, “Berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.”
Ali Imran: 115,”Dan apa saja kebaikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali
mereka tidak dihalangi (menerima pahalanya).” Al Baqarah: 83, “Ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada manusia.” Al Maidah: 48, “Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberianNya kepadamu. Maka, berlomba-lombalah berbuat kebaikan.”
Dalam hadits juga dianjurkan
kebaikan sebagai berikut:
“Barang siapa beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Hadist Arbain
ke-15)
“Barang siapa menunjukkan kepada
kebaikan, ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim
dalam Al Imarah)
Akan tetapi ada lima
karakteristik atau prinsip yang membedakan amal kebaikan dalam Islam dengan
agama lainnya. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1.
Komprehensif
Seorang muslim melakukan amal kebaikan secara
menyeluruh kepada semua yang membutuhkan, baik kerabat atau bukan, muslim atau
kafir, kawan atau lawan, dan manusia maupun binatang. Kendati demikian Islam
menekankan ada prioritas, seperti mengutamakan kerabat. Sabda Rasulullah SAW,
“Sedekah kepada orang miskin mendapatkan satu pahala sedekah, sedangkan kepada
kerabat mendapatkan dua pahala, sedekah dan silaturahim” (HR. Ahmad).
Begitu pula terhadap nonmuslim, seorang muslim wajib
berbuat baik dan adil kepada mereka selama masih berdamai dan tidak
memperlihatkan sikap permusuhan. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al
Mumtahanah:8). Bahkan pada tawanan, orang yang jelas memusuhi Islam tetapi
dalam kondisi tertawan, Allah memuji umatNya yang berbuat baik pada tawanan.
Dalam Al Insan:8, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”
Berbuat baik juga berlaku kepada binatang dan tanaman.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Takutlah kepada Allah SWT terkait binatang
ternak. Maka tunggangilah binatang itu dengan cara yang baik dan makanilah dia
dengan cara yang baik pula.”(HR Ahmad)
2.
Ragam Kebaikan
Amal kebaikan yang dilakukan muslim, baik sendiri
maupun secara berjamaah, tak hanya memiliki satu bentuk saja, melainkan
bermacam-macam sesuai kebutuhan dan kemampuan manusia, juga tergantung tuntutan
dan kemungkinan yang ada. Amal bisa berupa ibadah yang bersifat ritual, maupun
sosial kemasyarakatan. Ibadah ritual harus dilakukan dengan benar, sesuai
tuntutan syariat. Sedangkan ibadah sosial lebih fleksibel. Wujudnya bisa berupa
materi maupun nonmateri seperti waktu dan tenaga. Bahkan hal yang paling sederhana seperti
kata-kata yang baik, menyingkirkan batu di jalan, dan senyuman pada orang lain
bisa menjadi amal kebaikan, sebagaimana hadits “Senyummu pada saudaramu adalah
sedekah” (HR.Tirmidzi).
Islam juga menganjurkan amal kebaikan sesuai dengan
kemampuan. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar, beberapa sahabat Rasulullah
bertanya kepada beliau bahwa orang-orang kaya akan mendapat banyak pahala
karena mereka sholat dan puasa sebagaimana mereka, dan masih bisa bersedakah
dengan kelebihan hartanya. Rasulullah menjawab,”Bukankah Allah telah menjadikan
bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap
tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah
sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, mengajak pada kebaikan adalah sedekah,
mencegah yang mungkar adalah sedekah, dan berkumpul dengan istri adalah
sedekah.” (HR Muslim).
3.
Kontinuitas
Salah satu ciri amal kebaikan di kalangan umat Islam
adalah kontinuitas atau berkelanjutan. Dalam Islam, ada beberapa kewajiban yang
memang bersifat periodik, seperti sholat fardhu setiap hari, zakat fitrah
setiap Ramadhan, zakat maal setiap tahun dan sebagainya. Ada pula yang bersifat
nonperiodik dan tidak wajib, seperti sedekah, membantu orang lain, sholat
sunnah, dan lainnya. Ibadah wajib harus dilakukan oleh orang muslim, sedangkah
ibadah sunnah merupakan ibadah tambahan yang dapat menyempurnakan ibadah wajib.
Semuanya sebaiknya dilakukan secara kontinu dan berkelanjutan, karena Allah
akan selalu mengawasi dan melihat ummatNya. Firman Allah SWT, “Barang siapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.” (Al Zalzalah:7). Selain itu, kita tak pernah tahu kapan ajal
akan menjemput manusia. Dengan terus menerus beramal baik, semoga Allah
mengakhirkan kita dalam husnul khatimah.
4.
Motif yang Kuat
Memiliki motivasi yang kuat akan menjadikan seorang
muslim lebih giat dan teguh dalam beramal baik. Motivasi tersebut antara lain:
a.
Mencari keridhaan Allah
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi
makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al
Insaan:8-9)
Termasuk mencari keridhaan Allah adalah meminta surga
berikut pahala dan kenikmatan di dalamnya. Motivasi inilah yang telah mendorong
banyak sahabat melakukan kebaikan. Maka, ketika diturunkan ayat Al Qur’an yang
menyeru kebaikan, mereka bersegera melakukannya bahkan ingin berbuat lebih.
Cinta dunia dan kekikiran tak menghalangi mereka berbuat baik sebab mereka
yakin pahala Allah lebih besar dan di sisi Allahlah yang lebih kekal.
Ada sebuah kisah bahwa Abu Thalhah menyedekahkan kebun
kurma yang ia paling cintai segera setelah diturunkannya ayat yang berbunyi
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran:92).
b.
Motivasi normatif
Motivasi normatif sebagaimana dalam Al Qur’an yang
menyebut orang-orang yang beramal baik sebagai orang yang bertakwa (Al Baqarah:
2-3), orang yang beriman (Al Anfal: 3-4), orang yang berakal (Ar Ra’d: 19-22),
atau orang –orang yang berbuat baik (Adz Dzariyat: 16-19).
c.
Keberkahan di dunia
Agama Islam sangat memperhatikan kebaikan baik di
dunia maupun di akhirat. Maka kebaikan dunia pun boleh menjadi motivasi seorang
mukmin untuk berbuat kebaikan, seperti keharmonisan rumah tangga, harta yang
berkah, anak yang sholeh, maupun berharap Allah memberikan ganti yang lebih
baik dari yang disedekahkan.
“Barang siapa bertakwa kepada Allah,niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath Thalaq: 4)
“Barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik.”(An Nahl:97)
5.
Ikhlas demi kebaikan
Karakteristik terakhir dari amal kebaikan adalah dilandasi
keikhlasan yakni dilakukan semata-mata demi kebaikan. Hal tersebut dapat terwujud
apabila dimotivasi oleh agama dan akhlaq, bukan duniawi dan materi. Misalnya
kebaikan seseorang tidak akan diterima apabila dijadikan alat untuk menipu atau
meraup suara dalam pemilu. Demikian pula,amal kebaikan yang dilakukan dengan
cara yang haram seperti: sedekah dari uang suap atau uang judi. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan hanya
menerima yang baik-baik.”
Diringkas dari buku “Prinsip Amal Kebaikan” oleh DR.
Yusuf Al Qaradhawi.